Entropi Imajinasi Dalam Tubuh Puisi

0
1865

Puisi adalah produk trilogi penciptaan sastra, yaitu pikiran, perasaan dan realitas penyair. Dia sebagai sebuah refleksi batin, pikiran, dan realitas tentu sangat bervariasi. Dia mampu menunjukkan eksistensi dirinya sebagai sebuah sistematika pikiran/akal, perasaan, realitas, simbol, dan sistematika gagasan yang melampaui realitas itu sendiri. Variasi tersebut muncul akibat bervariasinya realitas yang menjadi titik tolak puisi serta bervariasinya segala entitas yang mengitari sang penyair.

Fakta tersebut menunjukkan pada kita bahwa puisi adalah sebuah entitas yang sangat kompleks. Terlebih jika kita mengaitkan puisi dengan lingkungan dan pembacanya maka tubuh puisi yang tampak diam ternyata memuat imajinasi yang sangat dinamis dan amat sukar dicari kepastiannya. Dinamika imajinasi di dalam tubuh puisi berasal dari penciptaannya sebagai sebuah pemadatan ruang-waktu, pelipatan jarak, pemadatan kata, bahasa dan informasi, pereduksian atas ada, dan peniruan atas realitas.

Peristiwa tersebut memang membuat tubuh puisi dan realitas yang dicerapnya menjadi semakin padat dan ringkas tetapi hal ini memberi dampak yang sangat signifikan berupa peningkatan entropi (ketidakpastian) imajinasi di dalam tubuh puisi. Puisi jika semakin dipadatkan dan diringkas dia akan semakin bergejolak. Dia akan memberi arus balik yang semakin kuat. Alih-alih semakin jelas imajinasinya, imajinasi di dalam tubuh puisi akan menjadi semakin liar dan tak pasti karena eksistensi koteks berfungsi untuk menjadi sebuah jangkar (anchor) yang menahan imajinasi sehingga imajinasi menjadi yang stabil. Jika puisi semakin dipadatkan maka jangkarnya pun akan semakin berkurang dan imajinasi akan semakin tidak stabil. Puisi memang berbeda dengan materi-materi bendawi yang jika dipadatkan maka ruang pada bendatersebut menjadi sempit dan bahkan tak bercelah. Puisi jika semakin dipadatkan maka tubuh puisi akan semakin dipenuhi dengan celah dan retakan sehingga akan memberi pengaruh signifikan terhadap pemilihan imajinasi yang dikehendaki pembaca atau pendengarnya. Karena puisi memiliki banyak celah maka imajinasi pembaca akan selalu berusaha mengisi celah-celah tersebut dan memperbaiki retakan-retakan tersebut sehingga menjadi struktur imajinasi yang utuh. Ujung dari persoalan ini adalah pertanyaan tentang imajinasi mana yang paling otentik dan sesuai dengan tubuh puisi tersebut. Tentu tak seorangpun dapat menjawab pertanyaan tersebut secara pasti.

Dengan mengatahui fakta tersebut dapat kita pastikan bahwa keotentikan imajinasi di dalam puisi adalah sebuah entropi yang tak seorangpun  dapat memastikakannyasecara pasti dan tanpa keraguan meskipun dia menggunakan berbagai metode dan teori yang paling mutakhir. Imajinasi di dalam puisi akan tetap menjadi entropi dan misteri.  Jika menggunakan teori dan metode yang paling mutakhirpun entropi imajinasi di dalam tubuh puisi tidak dapat di atasi maka pemerolehan dan pemahaman imajinasi dengan pemaknaan leteral adalah sebuah usaha yang sia-sia dan tidak bernilai sedikitpun. Terkait permasalahan tersebut Northrop Frye di dalam artikelnya yang berjudul Levels of Meaning in Literature berpendapat bahwa meski makna literal selalu mendahului makna lain. Ia tidak bisa dianggap sebagai tindak komunikatif dan berada di luar kritik sastra. Memahami tubuh puisi secara literal adalah sebuah tindakan serampangan atas totalitas imajinasi dan jauh dari semangat kritis.

Entropi di dalam tubuh puisi ternyata tidak berhenti pada pembacanya tetapi juga menimpa penyairnya atau penciptanya sendiri. pasca penciptaanya, puisi seolah menjadi makhluk hidup yang terus sembunyi dan menolak untuk diungkap imajinasinya. Dia mampu menentukan arah imajinasi ke arah imajinasi tertentu yaitu imajinasi yang selalu berbeda dan bersilang posisi baik dengan pembaca dan penciptanya. Nizar Qabbani di dalam bukunya yang berjudul La’ibtu Bi Itqaanin Wa Haa Hiya Mafaatiikhi berkata:

Terlepas dari ribuan wawancara tentang puisi yang saya sampaikan sejak tahun 1940-an, saya yakin bahwa puisi selalu berada di luar ruangan tempat wawancara-wawancara tersebut berlangsung. Setiap kali seorang wartawan, seorang kritikus, seorang penyiar radio atau pembawa acara di stasiun televisi bertanya pada saya tentang puisi, puisi akan segera memakai jasnya dan lari dari pintu belakang.

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa tubuh puisi ada sebuah wadah imajinasi yang terus berlari dan bersembunyi yang tak mungkin untuk ditangkap sepenuhnya baik oleh penyair, pembaca dan pengkritiknya. Sampai kapanpun, imajinasi akan tetap menjadi entropi dan misteri.

Tulisan ini bukan untuk membuat kita yang hendak memahami puisi menjadi pesimis dan putus asa. Penjelasan tentang entropi imajinasi di dalam tubuh puisi di sampaikan agar kita menjadi manusia yang arif dan bijaksana, manusia yang menghargai pemahaman orang lain, ngliyaning liyan, sehingga kita tidak menciptakan sebuah rezim kebenaran yang memarjinalkan mereka yang memiliki pemahaman yang berbeda. Usaha pemerolehan dan pemahaman imajinasi dari tubuh puisi hanyalah sebuah hasrat yang berkekurangan, sebuah hasrat yang pada dasar tidak pernah terpenuhi, tetapi guna meraih sebuah kenikmatan (jouissance) kita tetap harus merealisasikan hasrat tersebut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.